Stabat – Kasatpol PP Kabupaten Langkat Dameka Putra Singarimbun SSTP merasa geram. Ia kesal mendengar informasi terkait anggotanya yang diduga melakukan pungutan liar (pungli) terhadap pedagang. Pasalnya, setiap pedagang kaki lima yang berjualan, tidak boleh dipungut biaya.
Hal itu menyusul pemberitaan terkait keluhan pedagang kaki lima yang dipungut biaya oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. “Setiap pedagang kaki lima yang berjualan tidak ada pungutan. Kalau ada anggota yang melakukan pungli, kumpulkan buktinya dan laporkan,” tegas Demaka dengan nada kesal, via panggilan selulernya, Minggu (26/11/2023) malam.
Jika ada yang melakukan pungli, kata mantan Camat Bahorok itu, maka segala risikonya ditanggung sendiri oleh yang bersangkutan. Karena, pihaknya tidak pernah sama sekali memerintahkan hal terebut.
Selain itu, Dameka juga menegaskan, diperbolehkan bagi pedagang kaki lima yang ingin berjualan di dalam areal Tribun Stabat. Tapi untuk areal Alun – alun dan di badan Jalan Proklamasi jelas dilarang.
“Kalau di Taman Lam Ta Ba (Amir Hamzah) dan di dalam areal Tribun diperbolehkan. Itu dah ada perdanya. Tapi kalau di dalam areal Alun – alun, dah jelas kita larang,” tutur Dameka menambahkan.
Ia juga menegaskan, untuk areal trotoar di depan Gedung MABMI Stabat, dilarang untuk berdagang di sana. Karena itu merupakan fasilitas umum yang semestinya dipergunakan bagi pejalan kaki.
Sebelumnya, sekelompok pedagang kaki lima di Kota Stabat, Kabupaten Langkat, mengeluhkan nasibnya. Selain dilarang berjualan di seputaran Alun – alun Amir Hamzah, para pegiat UMKM itu pun mengeluhkan tingginya ‘setoran’ kepada pihak yang tidak bertanggung jawab.
Hal itu seperti yang disampaikan nara sumber kapada media ini, Minggu (26/11/2023) malam. Mereka tak tau harus kemana menjajakan barang dagangannya. Sementara bagi pedagang lainnya dapat dengan bebas berdagang, meskipun menggunakan fasilitas umum (Fasun) di sepanjang Jalan Proklamasi Stabat.
“Kami dulunya dagang di Taman Amir Hamzah. Tapi karena wahana permainan seperti balon raksasa, odong – odong dan permainan lainnya pindah ke Tribun, kami pun ikut pindah berdagang di sana,” terang nara sumber sembari meminta hak tolaknya.
Tapi apesnya, kata nara sumber, mereka dilarang dagang di seputran Tribun. Baik di areal dalam maupun luar Tribun, mereka selalu dilarang oleh oknum petugas Satpol PP. Alasannya, ada perda yang melarang mereka berdagang di sana.
Ironisnya, hanya pedagang kaki lima yang dilarang mencari nafkah di fasum tersebut. Namun pengelola wahana permainan tetap bebas meraup rezeki di areal tersebut, tanpa ada ganggan sedikitpun.
Pengakuan dari beberapa pengelola wahana permainan, mereka memberi setoran Rp50 ribu hingga Rp100 ribu kepada oknum Satpol PP. “Memang wahana bukanya setiap Sabtu dan Minggu. Tiap buka, mereka mebayar setoran Rp50 ribu hingga Rp100 ribu,” beber nara sumber.
Kalau karena setoran tidak boleh berdagang, lanjut nara sumber, mereka pun merasa keberatan. Pasalnya, keuntungan yang mereka dapatkan, tak sesuai degan penghasilan yang didapat.
Mirisnya lagi, di depan Gedung MABMI Stabat, setiap hari selalu ada yang berdagang di atas trotoar. Namun, Satpol PP tak pernah terlihat melarang pedagang di sana untuk berjualan. Sementara, trotoar tersebut juga merupakan fasum yang semestinya diperuntukkan bagi pejalan kaki.
“Kami dilarang berjualan di Alun – alun, Tribun dan di seputaran Jalan Proklamasi, kenapa yang lain dibiarkan. Kalau alasannya karena perda, jangan lah tebang pilih. Kami juga butuh penghasilan untuk menafkahi keluarga,” ketus nara sumber kesal. (Ahmad)